Langsung ke konten utama

Postingan

Meski Kesenjangan Sosial Selalu Ada, Pendidikan Tidak Pernah Membedakan Kelas

Pandemik Covid-19 yang entah kapan ujungnya berdampak ke segala aspek, termasuk pendidikan. Pembatasan jarak sosial pun mengharuskan kampus melaksanakan perkuliahan secara daring, sistem perkuliahan yang mungkin tidak asing ditelinga kita sejak dulu, namun banyak dari kita yang tidak siap baik secara psikologi maupun secara fasilitas. Salah satu ketidaksiapan itu terlihat dari kita yang mungkin awalnya kebingungan menggunakan beragam platform pertemuan daring, lalu kemudian terjebak dalam fase "kecanduan". Karena perubahan yang tiba-tiba inilah, berbagai kampus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru demi mengadaptasi sistem perkuliahan daring yang diharapkan dapat memudahkan baik pengajar maupun mahasiswa. Ada yang membuat kebijakan sekadar berupa aturan-aturan pelaksanaan, ada pula yang langsung memberikan kebijakan berupa solusi atau aksi nyata misalnya memberikan subsidi kuota internet kepada mahasiswa. Tapi apa pun itu, yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra dari
Postingan terbaru

Masa-masa Galau Setelah Menyelesaikan S2

Alert: Jika kata 'galau' terkesan pesimis, alangkah baiknya menyebut dengan 'masa-masa (harus) penuh kesabaran'. Berbulan-bulan berlalu setelah menyelesaikan studi dan tiba di Indonesia sempat membuat cukup galau, lebih galau dari pada masa-masa setelah S1 karena (1) tanggung jawab lebih besar dan (2) teman seperjuangan tidak seramai selepas S1 dulu. Berusaha ikut kegiatan ini itu – setidaknya bisa berusaha menjadi bermanfaat bagi orang lain – dan mencari peruntungan ke sana sini. Mungkin saya terlalu santai ketika baru tiba pada awal Februari 2018, belum terlalu memikirkan kerja, bahkan tidak juga mengajukan penyetaraan ijazah LN ke Dikti. Saya mengisi masa-masa awal dengan sharing baik dengan teman-teman FLP maupun di luarnya perihal pengalaman kuliah di luar negeri, dan tentu perihal bagaimana menulis di media bisa memudahkan mendapatkan beasiswa LDPD. Awal Maret saya mendaftar unpaid internship di Kedutaan Besar Australia Jakarta. Aplikasi di

Catatan Singkat dalam Bising Perpustakaan

Memasuki perpustakaan daerah Kabupaten Soppeng untuk pertama kalinya: lebih terasa seperti gedung perkantoran pemerintah daripada perpustakaan. Begitu memasuki pintu seorang pegawai yang sedang duduk di meja resepsionis berdiri menyambut namun hanya dengan tatapan, tanpa kata. Ia pun baru bicara setelah saya yang memulai. Dengan terbata-bata – sepertinya ia bukan orang yang biasa atau sering menyambut pengunjung perpustakaan – ia meminta saya menyimpan tas di lemari yang cukup kecil untuk disebut sebagai rak penyimpanan. Ketika bertanya, ia menjawab kurang tegas, ragu, sehingga saya harus mengklarifikasi kembali. Setelah mengeluarkan laptop, mengisi daftar pengunjung yang setidaknya sudah tidak konvensional lagi, saya melangkah melewati jejeran rak buku menuju meja baca, menyimpan laptop. Perpustakaan ini terlalu sempit untuk menampung berak-rak buku. Rak tidak sesak oleh buku namun berdiri terlalu berhimpit-himpitan satu sama lain. Celah antar rak sangat kecil. Untungnya, tu

Janji Sebelum Matahari Terbit

'Ini rahasia besar, tak seorang pun yang boleh tahu selain kamu. Sebelum matahari terbit, segera temui saya di antara deretan buku tua lantai empat perpustakaan. Jika petunjuk ini membuatmu bingung, cobalah lihat ke laut, ke arah matahari terbit. Semoga bisa membantumu. Ingat! Kamu harus jadi yang pertama menemuiku.'

Sembunyikan Ibu Jarimu, maka Ia Takkan Berani Padamu

Petualangan mendorong sepeda pada POSTINGAN SEBELUMNYA masih berlanjut. Meski mendorong sepeda sejak tadi, namun sama sekali tidak ada keringat entah karena dinginnya udara atau bisa juga ini tanda kurang sehatnya saya, seperti yang pernah dikatakan salah seorang teman ketika kami sedang memakan makanan pedas dan ia sudah bercucuran keringat sementara jidat saya masih kering-kering saja meski lidah sudah seperti terbakar. Entah! Hal yang paling saya sukai—seperti anak kecil yang menjumpai perosotan­—adalah ketika menemui jalanan menurun. Bisa langsung duduk di saddle , membiarkannya melaju tanpa harus meroda. Saya berbelok ke arah kanan, keluar dari jalan raya menuju jalan setapak. Suara aliran air mulai terdengar, semakin saya melangkah semakin jelas pula hingga dengan jelas tampak sungai dikelilingi pohon-pohon besar tak berdaun. Indah seperti di film-film petualangan. Sambil melangkah saya terus memperhatikan layar hp, ah, aplikasi Maps mengecewakan, dari gps-nya saya

Alarm dan "Bicycle Place"

Finally, I got an empty seat—hopefully this appropriate place is enjoyable— in the 7 th floor of library setelah mencari tempat sepi dari lantai 4, 5, 6 hingga di sini. Mengerjakan tugas kuliah tidak semudah dan semenarik menulis atau bercerita di blog, that’s why I write this. Meskipun ujung-ujungnya tugas juga tidak selesai-selesai.  Yesterday morning (18/2) , Alhamdulillah, bangun lebih pagi sebagaimana yang direncanakan. Bunyi alarm pertama (saya selalu memasang minimal tiga lapis alarm) berhasil menyita perhatian, “menggetarkan hati” *eh, tidak lagi dimatikan lalu tidur kembali seperti hari-hari lalu. Selama kita betul-betul meniatkan dengan baik, insyaallah Dia akan menggerakan hati. (Memang, telah diajak/diingatkan untuk berjamaah di masjid pas subuh oleh seorang teman ketika pulang dari perpustakaan jam 10an malam) Bangun jam setengah 6, took a shower , segera memakai jaket, kaos tangan, kupluk, serta syal, mengambil sepeda, mengayuh pedal dengan cepat di tengah jala

We don’t Need Money, We Need Recognition

‘We don’t need Money, We need Recognition, ’ kalimat yang masih membekas dalam pikiran saya, kalimat yang membuat kagum, sedih, sekaligus marah. Tidak bisa dimungkiri, setiap orang butuh R E CO GNITION, penga kuan bahwa ia ada. Apalah arti harta dan ilmu jika kita tidak diakui di masyarakat misalnya. Apalagi sebuah ke lompok yang be sar, bangsa. Tentu mereka butuh penga kuan . Ya, setidaknya, menurut saya, kutipan dialog tersebut bisa mewakili perjuangan orang-orang Palestina tergambarkan di film The Wanted 18 . Malam kemarin (16/2) Alhamdulillah, bersyukur bisa ikut nonton bareng dan diskusi film tentang Palestina yang diadakan oleh Arab House Society dan Aberdeen Student Palestine Society . Pertama, bisa mencicipi beberapa makanan khas timur tengah untuk pertama kali —Ah, dasar manusia, makanan selalu saja yang pertama kali muncul di ide atau pembicaraan, apalagi kalau gratis. Maaf, tapi karena memang ketika baru masuk ke ruangan, kami disambut dengan dipersilahkan mencob